“Sampai
di sini saja perjumpaan kita, wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,”
suara merdu ummahat berkacamata yang tetap tampak manis di umurnya yang kian
senja itu mengmasiri sebuah program kuliah subuh di salah satu stasiun radio
swasta. Sembari tersenyum kepada operator sound di hadapannya, ia pun melepas
headset yang membelit bagian atas dari jilbab kuningnya.
Sembari membetulkan sedikit
posisi kacamata minusnya, wanita setengah baya itu pun menggapit tas tangan
kulit dengan tangan kanannya dan kemudian berjalan menuju pintu keluar. Sebelum
keluar, sang operator sempat memajukan tangannya untuk mengajak ustadzah itu
bersalaman.
Ustadzah itu pun menyambut
tangan sang operator tanpa menyentuhnya sedikitpun sambil tetap menundukkan
pandangan dan bergumam, “Assalamualaikum.” Tapi hal itu sudah cukup membuat
sang operator menelan ludahnya karena terpana akan keindahan gundukan kembar di
dada sang ustadzah yang sekilas tercetak di jubahnya ketika ia menunduk.
Baru saja keluar ruang siaran,
sang ustadzah berkacamata itu langsung disambut oleh seorang laki-laki
berjanggut tipis yang berumur sekitar 25 tahun. Tubuhnya tinggi, kekar dan
tegap dibalut baju koko hijau muda, peci putih, dan celana panjang hitam dari
bahan kain.
Hidungnya yang mancung dan
tulang pipinya yang kokoh memperkuat aura keshalihan dan kelelakiannya yang
pasti menarik setiap wanita yang melihatnya termasuk ummahat berjilbab panjang
di hadapannya yang tengah berdesir sedikit darahnya berhadapan dengan ikhwan
yang jelas lebih tampan, lebih tegap, dan lebih muda dari suminya kini.
“Assalamualaikum, Teh,” ujar lelaki itu membuka suara.
“Waalaikumsalam warahmatullahi
wabarakatuh, apa kabar mas Ahmad?” Jawab sang ustadzah yang baru selesai siaran
itu.
“Alhamdulillah ana bi khoir,
Teh. Saya baik-baik saja. Bagaimana tadi siarannya?” Lelaki tampan yang
ternyata bernama Ahmad itu sengaja atau tidak kian mendekat ke tubuh mungil
lawan bicaranya yang tampak begitu alim dan lembut itu.
Jantung sang ustadzah itu
berdetak lebih kencang dari keadaan normal menyadari gerakan ikhwan tersebut,
wajahnya kian tertunduk, walau tanpa bisa dipungkiri, ketampanan dan aura
kejantanan yang terpampang jelas di wajah Ahmad membuatnya tak bisa menahan
diri untuk mencuri-curi pandang pada Ahmad, “Aa…aall…alhamdulillah, lancar-lancar
saja masi.” Ia pun sampai tergagap-gagap karenanya.
“Krriiiing….krriiiing….,”
sebuah bunyi dari handphone di kantong sang ustadzah pun mengmasiri situasi
yang hampir tak terkendali itu, sampai-sampai sang ustadzah itu pun menghela
nafas panjang saking leganya. Ia merasa Allah telah menyelamatkannya dari hawa
nafsu yang hampir tak bisa ditahannya itu. Ia bergeser dan sedikit berpaling ke
sebelah kanan,”sebentar ya, mas.”
“Iya, Tafadhol. Silahkan, Teh.”
“Assalamualaikum,” ujar sang
ustadzah memberi salam pada lewan bicaranya di telepon yang telah amat
dikenalnya.
“Waalaikumsalam, teteh. Habis
siaran ya? Kapan kamu kembali ke Bandung?” Tanya seorang lelaki dengan logat
sunda-nya yang khas di ujung telepon.
“Hmm…kayaknya baru malam ini,
A. Nanti mau ke rumah Ummu Abdillah dulu di Radio Dalam. Memang ada apa A?
Kapan pulang?” Jawab ustadzah tersebut dengan suara yang sedikit
dilembut-lembutkan karena lawan bicaranya itu adalah sang suami tercinta.
Namun itu sudah cukup membuat
Ahmad yang tanpa ia sadari terus memandangi wajah putih sendunya yang beitu
mempesona sedikit bergetar imannya. Sebagai lelaki, Ahmad pun tak bisa bohong
bahwa ummahat di hadapannya masih terlihat menarik walau telah memiliki
beberapa orang anak.
“Nggak ada apa-apa kok, tapi
kayaknya Aa sama Rini bakal lebih lama di sini. Masih banyak yang harus
diselesaikan. Jadi tolong jaga anak-anak ya, nggak apa-apa kan, teteh?” Lelaki
yang dipanggil Aa tadi menjelaskan.
Walau hatinya sedikit perih,
namun ia memaksakan diri untuk menjawab pertanyaan itu sekenanya, “Owh, nggak
apa-apa kok, A. Ninih nggak apa-apa di sini. Biar Ninih yang urus anak-anak. Ya
sudah, A, lagi buru buru teteh, assalamualaikum.” Ustadzah yang ternyata
bernama Ninih itu langsung menutup telepon tanpa basa-basi lagi.
Ya, ustadzah yang baru saja
siaran itu adalah Teh Ninih, istri pertama Aa Gym yang alim dan begitu cantik.
Saat ini, Aa Gym tengah berada di Surabaya bersama Rini, istri kedua-nya, guna
suatu urusan dakwah. Dan baru saja suaminya itu menelepon karena urusan itu
menuntut tambahan waktu.
Walau ia sudah berusaha untuk
ikhlas, namun Teh Ninih hanyalah seorang wanita biasa yang punya rasa cemburu
dan butuh perhatian. Sudah seminggu Aa Gym berada di Surabaya bersama Rini,
madunya itu. Dan selama seminggu pula Teh Ninih terlarut dalam kesendirian. Tak
hanya fisiknya yang lelah, batinnya pun lelah, rindu belaian mesra sang suami
yang dicintainya.
Seperti tahu benar hal itu,
Ahmad kembali menggeserkan tubuhnya mendekati Teh Ninih. Dengan penuh aura
kelelakian, ia pun membisiki telinga kiri Teh Ninih,”Teteh keliatan capek,
istirahat saja dulu di ruangan saya, sebentar saja.”
Bagaikan tersihir, Teh Ninih
pun menganggukkan kepalanya dengan anggun. Ummahat yang begitu indah dipandang
inipun menggoyang-goyangkan bongkahan pantatnya yang tercetak jelas di bagian
belakang jubah putihnya mengikuti Ahmad. Goyangan yang sedikit erotis dan
menggairahkan itu sudah pasti mampu menggugah iman setiap lelaki yang
memandangnya.
Walau telah beberapa kali
melahirkan anak lewat vaginanya yang mungil nan imut, tubuh Teh Ninih tetap
terlihat seksi dan menggairahkan. Ia adalah sosok perempuan sunda yang mampu
menjaga bentuk tubuhnya walau telah termakan usia.
Walau telah berusaha menutup
diri dengan jubah dan jilbab panjang berwarna kuning, tonjolan payudara Teh
Ninih yang alim dan shalihah ini dapat kita lihat jelas, begitu montok dan
berisi, mengundang setiap insan untuk meremas-remasnya. Apalagi pagi ini ia
memakai jubah yang lebih ketat dari biasanya.
Begitu melihat Ahmad memasuki
sebuah ruangan, Teh Ninih pun berhenti sejenak. Sesaat ia membaca papan nama di
depan ruangan tersebut, “Ahmad Zaidi, Kepala Divisi Da’wah dan Syari’at”
Dengan perasaan tenang, karena
yakin Ahmad yang baru dikenalnya di stasiun radio ini sejak sebulan yang lalu itu
adalah seorang ikhwan yang baik-baik, Teh Ninih pun memasuki ruangan yang hanya
berukuran 6 x 4 meter itu. Tanpa disuruh, Teh Ninih langsung duduk di sofa yang
berada di dekat pintu. Seperti kata Ahmad tadi, Teh Ninih memang sedang lelah.
Tak hanya lelah fisik, tapi juga lelah batinnya.
“Mau minum apa, Teh?” tanya
Ahmad berbasa-basi sambil berjalan menuju dispenser. “Teh manis, mau?”
“Boleh, mas. Gulanya sedikit
saja ya,” ujar Teh Ninih sambil meletakkan tas tangannya di atas meja kaca di
depannya. Ia tak merasa canggung sedikitpun. Walaupun ia hanya berdua saja
dengan seorang lelaki yang notabene bukan mahromnya di ruangan itu, namun pintu
ruangan itu dibiarkan terbuka oleh Ahmad. Ia pun semakin yakin bahwa Ahmad tak
akan berbuat macam-macam pada dirinya.
Ahmad segera pergi ke dapur
mengambil minuman segar agar tamu istimewanya ini tak menunggu terlalu lama,
Ahmad langsung saja membawakan cangkir putih berisikan teh manis itu dan
meletakkannya di depan ummahat berparas manis nan berbodi indah itu. “Silahkan
teh manisnya, Teh.”
“Iya, syukron ya mas. Terima
Kasih,” ujar Teh Ninih. Ia langsung meraih pegangan cangkir yang dihidangkan di
hadapannya itu sembari menyeruput perlahan teh manis yang begitu nikmat itu
dengan bibirnya yang mungil dan berwarna merah muda.
Sedikit demi sedikit, Teh Ninih
menghabiskan teh manis yang terasa begitu lezat di permukaan lidahnya itu. Ia
rasakan tubuhnya terasa panas seketika dan sedikit bergetar, namun ia
membiarkannya. Mungkin hanya sedikit efek hangat dari teh manis ini, pikir Teh
Ninih.
“Ada apa, Teh. Kok kelihatannya
gelisah begitu?” Teh Ninih mulai menyadari kalau ini bukan sekedar efek hangat
dari teh manis biasa. Ahmad pasti telah mencampurkan sesuatu ke dalam
minumannya tadi. Kurang ajar sekali ikhwan ini, pikirnya.
Tubuhnya mulai berkeringat.
Sekujur tubuhnya terasa lemas dan kelopak matanya begitu berat. Dengan mata
setengah menutup, ia menggaruk-garuk kecil pundak kirinya dengan tangan
kanannya yang lentik karena terasa sedikit gatal. Untuk mengurangi rasa kantuk
yang menerpa, Teh Ninih mencoba mengalihkan pandangan pada jam yang ada pada
dinding di belakangnya., namun usahanya itu tidak membuahkan hasil.
“Tidak, tidak apa-apa kok mas
Ahmad,” Ahmad yang jauh lebih muda itu kini menyadari bahwa istri pertama
Ustadz Haji Maulana itu telah masuk dalam jebakannya dan sebentar lai akan
memasrahkan tubuh molek nan sintal miliknya untuk digagahi Ahmad dengan penuh
keikhlasan.
Ahmad pun semakin tak sabar dan
segera mengambil tempat di sebelah kiri Teh Ninih. Ia genggam tangan kiri Teh
Ninih yang halus dengan tangan kanannya yang cukup kasar. Sementara itu tangan
kirinya mulai melakukan serangan fajar dengan mengelus-elus pipi sebelah kanan
Teh Ninih yang lembut bukan main dan penuh aroma kewanitaan. Ia hadapkan wajah
ummahat manis berjilbab yang tengah berjuang melawan sensasi aneh yang
disebabkan teh manis ajaib buatan Ahmad tadi agar menghadap ke wajahnya.
Ditatapnya mata yang tengah berpendar di balik kaca mata itu dengan penuh
kemesraan.
“mas…..Ahmad. Jangan ya, kita
kan bukan mahrom. Lagipula nanti kalau ketahuan orang bagaimana?” Ahmad tak
menganggap itu sebagai penolakan. Teh Ninih tak sedikitpun menarik telapak
tangan kirinya yang tengah diremas-remas penuh nafsu oleh tangan kanan Ahmad,
lagipula Teh Ninih mengucapkannya dengan sedikit berbisik, penuh kelembutan dan
keteduhan bagai berbicara pada suaminya sendiri.
Dan ketika Ahmad menarik lembut
kepalanya agar wajah mereka mendekat, Teh Ninih pun tak berpaling atau berontak
sedikitpun. Ia mulai menikmati sensasi seksual yang begitu nikmat menggerayangi
tubuhnya. Apalagi sudah sekitar 2 minggu suaminya tak sekali pun menyentuhnya.
Sebelum Aa berangkat ke
Surabaya, ia sedang dalam keadaan haid sehingga tak bisa digauli. Baru kemarin
darah haidnya berhenti. Dengan kata lain, saat ini Teh Ninih sedang dalam masa
subur sehingga membuat birahinya begitu meledak-ledak.
“Tenang saja, Teh. Ahmad nggak
akan nyakitin Teteh. Ahmad cuma mau ngasih Teteh kenikmatan yang nggak akan
pernah Teteh lupa. Lagipula, nggak akan ada yang melihat kita di sini.” Kini
bibir dua insan yang bukan mahrom ini hanya berjarak sekitar 2 cm. Teh Ninih
pun telah memejamkan matanya sebagai tanda kepasrahan dirinya akan apa yang
bakal terjadi setelah ini.
Walaupun telah beristri dan
mempunyai 2 orang anak, Ahmad tak pernah menghilangkan sosok ummahat bertubuh
bahenol asal sunda yang sering mengisi imajinasi liarnya ketika bermasturbasi.
Kini, langsung di hadapannya,
telah terdiam seorang ummahat berjilbab kuning dan berjubah putih idamannya itu
sedangkan ia sendiri memakai baju koko hijau muda lengkap dengan peci putihnya
sebagai tanda kealiman dan keshalihan keduanya.
Namun kini sang maswat dengan
nakalnya telah memejamkan mata dan sang ikhwan pun tengah asyik meremas-remas
tangan sang maswat dengan syahwat membara. Tanpa terasa keduanya telah berada
di tepi jurang perzinahan.
Melihat Teh Ninih yang tak
memberikan sedikitpun perlawanan dan malah telah begitu pasrah pada keperkasaan
dirinya, Ahmad pu mengambil inisiatif. Sedikit demi sedikit ia menarik wajah
Teh Ninih ke wajahnya dan…hmmm…hhmmmch…..hhmmmmpff…bibir seksi nan indah
seorang Teh Ninih telah bersarang di bibirAhmad. Ahmad pun tak tinggal diam,
dibelahnya sedikit demi sedikit bibir ummahat yang juga merupakan ustadzah
terkenal itu dengan mendorong lidahnya yang kasar dan hangat.
Tanpa kesulitan berarti, di
mana Teh Ninih pun telah begitu terangsang oleh tatapan birahi Ahmad dan
gairahnya sendiri yang sedang berada di puncak, lidah Ahmda telah mampu
menembus rongga mulut Teh Ninih yang alim itu. Tak lama kemudian, kedua anak
Adam yang terkenal dengan keshalihannya itu telah saling hisap bibir
pasangannya diiringi pergulatan lidah di dalamnya yang begitu seru dan basah.
Entah karena reflek atau memang disengaja, tangan kanan Teh Ninih ganti
merangkul Ahmad hingga keduanya larut dalam pusaran syahwat yang begitu
menggairahkan.
Sebagai catatan, selama
berbagai aktivitas itu terjadi, pintu ruangan Ahmad, tempat semua kemesuman itu
terjadi, sama sekali tidak tertutup. Pintu itu terbuka lebar, sehingga
orang-orang yang berjalan dekat ruangan itu pasti bisa melihat segalanya.
Karena itu, Ahmad berusaha membuat suara sesedikit mungkin.
Namun untungnya, ruangan Ahmad
berada di ujung sebelah barat kantor radio tersebut, sedikit terpisah dengan
ruangan kantor yang lain. Sehingga suara dari ruangan Ahmad tak akan bisa
terdengar dari luar atau bahkan tertelan hiruk-pikuk kesibukan kantor di pagi
hari. Ditambah lagi ruangan Ahmad juga dilapisi dengan peredam suara karena ia
sering mengedit siaran radio di ruangan tersebut.
‘Masya Allah….”, guman Ahmad.
Dalam hati Ahmad sangat kagum dengan ulah ustazah ini. Tanpa disangka sama
sekali oleh Ahmad, Teh Ninih bergerak begitu aktif. Tampaknya Teh Ninih telah
begitu kuat menahan gairah seksualnya selama ini sehingga terasa bagaikan bom
waktu yang menggemparkan ketika akan dilepaskan.
Bibir dan lidah ustadzah
kondang yang pernah dinobatkan sebagai ibu teladan itu silih berganti memagut,
memberi kenikmatan erotik pada bibir lelaki beristri di hadapannya. Tampak
keduanya tak lagi mengingat status dan kedudukan diri mereka masing-masing.
Keduanya telah hanyut dalam gelombang syahwat yang menenggelamkan hasrat mereka
berdua dalam lautan birahi kebinalan.
Ahmad yang merasa lebih
berpengalaman membalas dengan tenang pagutan ummahat berjubah putih itu,
dijulurkannya lidahnya bagai hewan kelaparan agar segera dihisap oleh
ummahat di hadapannya itu,”hmmmm…hmmmm….hhmmppph….hhhmmmmpppf.”
“Duuh, Teteh. Kontol Ahmad jadi
tegang neh. Tetek Teteh merangsang banget, bikin horny. Boleh gak Ahmad pegang,
sedikit saja?” Ahmad mulai menunjukkan niatnya secara terang-terangan. Ia
mencoba memancing libido yang selalu tersimpan rapat-rapat dalam diri seorang
ibu shalihah yang tengah memagut liar bibirnya itu.
Entah setan apa yang tengah
beraksi, atau memang dorongan seksual ini begitu kuat. Nafas Teh Ninih mulai
tak beraturan dan jantungnya pun berdetak lebih kencang dari kecepatan normal.
asa kantuk yang tadi menderanya, berubah menjadi keinginan untuk memasrahkan
diri secara total kepada lelaki muda yang begitu tampan di depannya. Dengan
lembut dan sedikit bergetar, ia ucapkan dengan pasti, “Iya Mas….Pegang aja
tetek Ninih, lakukan sesuka kamu…”
Mendengar kata-kata penuh
penyerahan diri seutuhnya dari seorang ustadzah yang mulai mendesah-desah tak
karuan itu, tubuh Ahmad pun semakin panas. Tangan kirinya mulai menyelusup
masuk ke balik jilbab panjang Teh Ninih.
Ia meraba-raba peyudara suci
nan terawat milik ustadzah cantik itu secara perlahan. Ia ingin membuat Teh
Ninih merasakan sendiri getaran syahwat yang menggebu-gebu setelah bagian
sensitifnya ini jatuh ke tangan Ahmad. Benarlah, sesaat kemudian,
desahan-desahan pelan diselingi erangan binal meluncur di antara bibir sang
isteri Ustadz itu, “ssshh…akkhhhh….maasssshhh…mas Ahmad, enak masssshh….!!”
“Iya Tetehku sayang, Ahmad
tahu. Pintunya Ahmad tutup dulu ya, biar kita tambah bebas.” Teh Ninih tak
langsung menjawab, bibirnya kelu dan hanya kembali memagut bibir Ahmad untuk
meredakan gairahnya. Namun sebuah cubitan nakal di tangan kanan Ahmad-lah yang
kemudian menjadi lampu hijau bagi Ahmad. Ia pun melepaskan kulumannya pada
bibir Teh Ninih yang nampak sedikit kecewa karenanya.
Dengan jantannya, Ahmad pun
merebahnkan ustadzah yang sudah horny itu di atas sofa. Ukuran sofa yang kecil
memaksa kaki Teh Ninih tidak bisa selonjor dengan penuh namun sedikit naik
karena tertopang pegangan sofa di seberang.
Dalam keadaan tubuh ‘siap
entot’ itu, Ahmad meninggalkan ummahat seksi itu sesaat. Ia berjalan ke arah
pintu ruangan dan menutup serta menguncinya. “Cklik…” bunyi itu seraya
menandakan telah terkuncinya iman kedua insan yang sebenarnya telah mempunyai
pasangan masing-masing ini, dan tinggallah nafsu syaithan yang menjadi hakim di
ruangan itu.
Ahmad pun kembali mendatangi
sang bidadari surga pujaan hatinya yang telah terkapar menahan birahi di atas
sofa. Subhanallah, gumamnya dalam hati. Tanpa dinyana pula, bidadari berjilbab
itu mendesah dengan binalnya, “Mas Ahmad, sini dong!”
Teh Ninih yang manis itu telah
membuka jalan bagi imaji liar Ahmad dengan desahan lembut menggemaskan yang
pasti merangsang birahi setiap pria yang mendengarnya. Ahmad langsung melepas
kancing baju kokonya dari atas ke bawah satu per satu.
Sesaat kemudian, tubuh tegap
dan gagah laksana anggota TNI itu telah terpampang jelas di depan Teh Ninih
yang tengah membuncah nafsunya hingga memaksa ummahat itu menelan dalam-dalam
ludahnya, “Mas Ahmad…tubuh kamu seksi banget. Ninih jadi nggak tahan…”
Komentar binal seorang ustadzah
terkenal itu membuat syahwat Ahmad menggelegak. Ia langsung berlutut di sisi kaki
Teh Ninih yang penuh kepasrahan hati menelantangkan tubuh sintal khas sundanya
si atas sofa. Ahmad lepaskan sepatu hitam yang melekat di kaki isteri Ustadz
besar itu, dan mengendus-endus bau kaki yang menyengat nan menggairahkan di
kaos kaki Teh Ninih. Ia tanggalkan kaos kaki berwarna krem itu dan langsung
mencaplok jemari kaki Teh Ninih yang lentik dengan mulutnya.
Teh Ninih sampai terkaget-kaget
dibuatnya. Tak pernah sekalipun suaminya yang shalih itu memanjakan birahinya
seperti ini. Aa Gym hanya menganggap bersenggama adalah cukup dengan memasukkan
kontol ke dalam memek wanita, dan setelah itu selesai.
Mungkin ulama besar seperti
beliau menganggap foreplay atau pemanasan seksual seperti ini hanya
membuang-buang waktu belaka. Padahal Teh Ninih dan Teh Rini pun hanya wanita
biasa yang butuh sensasi-sensasi baru dalam kehidupan seksual mereka. Uups, Teh
Rini? ya, Teh Rini pun begitu haus akan rangsangan-rangsangan nakal seperti
ini. Insya Allah nanti kami akan ceritakan kisahnya.
Dan saat ini, seorang ikhwan
yang telah mempunyai isteri dan anak, bertubuh tegap, macho, dan berwajah
rupawan sedang berlutut di bawah kaki Teh Ninih dan menjilat-jilat serta
menghisap-hisap jari-jemarinya yang indah.
Hal itu seolah menghapuskan
rasa dahaga Teh Ninih akan aktivitas seksual yang sedikit di luar kebiasaan.
Tanpa terasa, vagina suci miliknya telah berdenyut-denyut kecil dan terlontar
desahan dan erangan penuh luapan syahwat dari bibir indahnya,
“Ssaaa…aakkkhhhh…Mas Ahmad, enak sekali kulumanmu….,”
Teh Ninih pun bertekad akan
menundukkan diri sehina mungkin di depan lelaki yang telah bangkitkan gairah
masa mudanya yang haus akan seks.
Tanpa terasa, Ahmad telah
mengangkangi tubuh mungil istri idaman itu di atas sofa. Ia telah menyingkapkan
jubah putih Teh Ninih hingga pinggang. Kini paha mulus dan berisi serta betis
yang membujur indah yang selalu dijaga dari pandangan orang itu telah terekspos
bebas dan telah dibanjiri air liur bekas jilatan Ahmad.
Ya, Ahmad telah selesai menyapu
bersih sepasang paha dan betis indah seorang Teh Ninih, isteri Ustadz Abdullah
Gymnastiar yang selama ini hanya ada dalam lamunan joroknya dan menghisap
sejumlah besar air maninya yang habis ketika bermasturbasi menkhayalkan
bersetubuh dengan maswat sunda(l) itu.
“Teteh kepanasan ya? Ahmad lepas
aja ya jubahnya…” Teh Ninih tidak segera menjawab. Ia hanya memejamkan matanya
sambil berdehem ringan yang langsung diartikan Ahmad sebagai izin. Dalam
hati wanita sholehah itu tersadar akan dosa dan zina yag ia lakukan.
Bagaikan terkejut, seolahia diingatkan
akan dosa zina ini. Sesaat ia diam dan beristighfar.
“Astaghfirullah…Astaghfirullah…
ia memohon ampun atas dosa ini. Hanya sedetik ia tersadar dari dosa ini.
Karena desakan syahwat yang
melanda dirinya tak mampu dilawannya. Ia tak sanggup menahan amuk birahi yang
melanda. Ia pun kembali larut dalam perzinaan yang nikmat dan syahdu.
Dalam sekejap, jubah putih
ummahat itu telah tergeletak di atas lantai meninggalkan pemiliknya tanpa
busana, hanya jilbab kuning, bra putih dan celana dalam putih berenda yang
tersisa menutupi tubuh indah Teh Ninih. “Teh, tubuh Teteh indah banget, putih,
mulus, beda banget sama punya isteri saya. Memek Teteh juga pasti lebih indah
dan lebih legit!”
“mas…Ahmad, malu neh. Jilbabnya
gak dilepas sekalian?” Teh Ninih mulai membuka mata dan membalas
perkataan-perkataan cabul Ahmad.
“Nggak usah, Teh. Ahmad lebih
suka Teteh pakai jilbab itu. Lebih cantik dan lebih anggun. Jadi lebih semangat
buat merasakan manisnya tubuh ustadzah kayak Teteh.”
“Panggil aku Ninih saja ya
Ahmad. Mau kan”
“Iya deh, Ninih sayang. Kamu
kok binal banget sih. maswat binal kayak kamu tuh cocoknya dientot tiap hari
sama kontol gede ku. Ya, masirnya sang ustazah itupun kehilangan
sifat-sifatnya yang santun dan alim. maswat sunda itu telah menjelma sebagai maswat
binal dan sundal (bukan sunda lagi).
Ruangan sempit itu, juga busana
muslimah Teh Rini yang telah berserakan di lantai semua telah terjadi. Seolah
busana muslimah yang sehari-hari dipakai sang ustazah itu menjadi saksi atas
perzinaan pemiliknya. Begitu juga jilbab yang masih dipakai Teh Ninih, seakan
menjadi saksi bisu atas perbuatan dosa ini.
Mau lihat kontol Ahmad gak?
Banyak bulunya lho…” Kata-kata cabul Ahmad membuat Teh Ninih tambah terangsang.
Ia tak memperdulikan lagi bahwa Ahmad adalah suami orang.
“Mas Ahmad….Mau dunk. Kasih
lihat kontol kamu sama Ninih dong.”
“Apa teteh? Ahmad nggak denger.
Coba ulangi lagi?” Ahmad pun memancing rasa penasaran ummahat yang sudah
setengah telanjang itu dengan menyodorkan daun telinga sebelah kanannya.
Syahwat Teh Ninih pun makin berkobar melihat tingkah Ahmad yang seperti
mempermainkan dirinya.
Dengan birahi terbakar dan siap
meledak, Teh Ninih meraih telinga Ahmad san berbisik lembut, “Ahmad
sayang….kasih liat dong kontol kamu sama Ninih. Nanti Ninih kasih liat memek
Ninih deh, mau ga? Teh Ninih merasa begitu terhina dengan tindakannya sendiri.
Ia merasa harga dirinya telah tercabik-cabik di depan ikhwan perkasa ini. Ia
langsung terkapar lemah sedangkan Ahmad malah makin bersemangat mendengar
bisikan luapan syahwat ustadzah alim yang telah menunjukkan kebinalannya itu
telah ikhlas sepenuh hati merelakan bagian paling sensitif dan paling suci
miliknya untuk dijamah Ahmad.
“Iya deh Ninih Sayang. Ini
Ahmad buka kejantanan Ahmad, habis Ninih maksa teruz sih” Tanpa butuh waktu
lama, Ahmad, sang suami shalih yang merupakan kepala divisi dakwah di stasiun
radio tersebut, telah menelanjangi dirinya sendiri. Ia hadapkan kontolnya yang
telah menegang dan mengangguk-angguk seksi itu pada wajah ummahat shalihah di
depannya. Ia sorongkan seonggok daging berurat yang berdiameter 5 cm dan
panjang yang lebih dari 20 cm serta berkepala kemerahan bekas sunat itu pada
bibir Teh Ninih.
Ahmad tersenyum melihat Teh
Ninih yang terkagum-kagum melihat batang kemaluannnya. Ustazah cantik itu
menelan ludah, sementara kontol Ahmad menganggguk-angguk tepat di dekat wajah
sang ustazah. Teh Ninih menjulurkantangan menggapai batang perkasa itu….
dan….Ahmad mendesis sshhhh………
Teh, bolehkah aku menyentuh
memek kamu ?
Tangan Ahmad turun ke bawah meraih
bawah perut Teh Ninih, turun lagi, dan mengusap-usap gundukan daging yang
terletak di bawah perut sang ustazah.
“Ya Allah….. Teh Ninih……empuk
sekali memek kamu Teh…”
Teh Ninih yang masih mengenakan
jilbab itu memejamkan mata menikmati usapan-usapan lembut di kemaluannya.
Cukup lama tangan Ahmad
bermain-main di kemaluan Teh Ninih. Tangan Ahmad yang telah terlatih begitu
lembut mengusap-usap daging empuk aurat milik sang ustazah. Dibelai-belai, dan
diremas secara ritmis nan lembut, membuat Teh Ninih tak mampu lagi bertahan.
Pertahanannya runtuh total.
Iman nya pun jebol. Kesetiaan yang selama ini menjadi pagar dirinyapun tak lagi
diingatnya. Seratus persen Teh Ninih telah berniat menuntaskan perzinaan
terlarang ini.
Di ruangan yang sempit itu,
seorang muslimah suci telah melepaskan jubah putih sehingga telanjang di
hadapan seorang lelaki yang bukan suaminya. Hanya jilbab yang masih
tersisa di kepalanya.
Dan sang lelaki bernama Ahmad
itu terus membangkitkan birahi sang ustazah, terus mengusap dan membelai-belai
daging empuk di bawah perut Teh Ninih. Tangannya masuk ke dalam celana putih
berenda milik sang ustazah. Dengan kelima jari yang seolah bekerja secara
kompak, jari-jari itu menggelitik setiap inci daging montok itu. Sementara si
wanita cantik berjilbab itu merintih-rintih menahan nikmat.
maswat Sunda(l) itu telah
menjadi maswat binal yang haus akan sex, dan sang maswat cantikjelita
itu telah bertekad untuk menuntaskan perzinaan yang syahdu ini.
“Oh teteh Ninih… oh teteh..,
memek kamu indah banget Teh?” Ahmad membisik
“Mas Ahmad…oughh……..”, hanya
desis lirih yang keluar dari mulut sang Ustazah cantik itu.
“Teh Ninih… bolehkah kontolku
mengentoti memekmu Teh?”
“Ouhh…apa mas Ahmad?”, nafsu
birahi membuat Teh Ninih tak begitu jelas mendengar kata-kata Ahmad.
“Bolehkah kontolku mengentoti
memekmu, Teteh?”, Ahmad mengulang kalimatnya.
“Oh, iya mas Ahmad, segera
entoti aku…oh…mas entot memekku…oh entoti memekku ..”
Dan jilbab suci sang ustazah ,
menjadi saksi atas perzinaan itu. Begitu pula dengan busana muslimah yang
berserakan di lantai yang sedari tadi lepas dari tubuhnya. Andaikan
saja jubah putih yang tergolek dilantai itu punya mata dan telinga, pasti bisa
ikut menikmati persenggamaan dan perzinaan yang sedang dan akan dilakukan oleh
pemiliknya.
Teh Ninih yang telah dimabuk
birahi itu begitu penasaran akan sebatang kontol yang mengangguk-angguk penuh
nafsu di hadapannya. Ia pun mulai mengelus-elus kontol yang telah begitu tegang
itu dengan tangannya yang lembut. Entah sadar atau tidak, tangan kanan Teh
Ninih bergerak dari depan ke belakang berkali-kali dengan tempo sedang. Ini
membuat semacam kocokan yang makin membangkitkan gairah Ahmad yang sudah
telanjang bulat.
Demi merasakan kocokan lembut
ummahat berkacamata itu, Ahmad semakin ditenggelamkan oleh birahinya sendiri.
Ia letakkan lututnya di atas sofa dan memajukan penisnya yang begitu bergejolak
sehingga menyentuh bibir merah muda ustadzah shalihah itu.
JIlbab kuning panjang Teh Ninih
terlihat sedikit basah akibat keringat yang mulai mengucur sehingga menampakkan
dengan jelas body indahnya pada Ahmad. “Ayo dong, Ninih sayang….Masukin kontol
Ahmad ke dalam mulut indah kamu. Ahmad boleh kan ngentotin mulut Ninih? Akkhhh…
Ayo teteh, gedean mana sih kontol Ahmad sama punya Aa?” Gesekan-gesekan pergelangan
tangan Teh Ninih di bulu kemaluan Ahmad yang hitam, keriting, dan lebat itu
membuat Ahmad gemetar bukan kepalang.
“Iya sayang…masukin aja kontol
kamu ke mulut Ninih, Ninih pengen banget ngemut kontol kamu. Habisnya punya
kamu jauh lebih besar dan lebih panjang daripada punya Aa.”
“Duh, kamu kok ngomongnya
begitu sih teteh….Kamu ustadzah dan ummahat tapi omongannya kayak pelacur.
Kontol aku kan bau banget.” Ahmad semakin puas menghina isteri pertama Ustadz
kondang yang dipuja banyak orang itu. Kata-kata kotor terus keluar dari bibir
Ahmad sementara tangannya memegangi kepala Teh Ninih yang terbungkus jilbab
bagai memegangi kepala PSk pinggir jalan.
“Nggak apa-apa Ahmad
sayang…Ninih suka kok kontol bau!” tanpa pikir panjang lagi, Teh Ninih langsng
memasukkan kontol Ahmad yang besar bukan main dengan gerombolan urat di
batangannya yang telah membiru ke dalam mulutnya. Ia telan bulat-bulat kontol
yang telah berlendir di ujungnya itu, menunjukkan betapa terangsangnya
pemiliknya.
“Terus Ninih…OOhhh, ternyata kamu
doyan sama kontol gede ya?” Ahmad terus mendesah dan mengerang menikmati mulut
dan lidah ummahat sekelas Teh Ninih yang sedang memanjakan kemaluannya.
Sementara itu Teh Ninih pun tak bisa berbuat apa-apa saking asyiknya ia
mengulum kejantanan pria shalih di hadapannya. “OOhh, Ninih sayang…begini yoh
rasanya ngentot mulut Teh Ninih.”
“Begitu panasnya permainan
kedua insan ini, di mana Teh Ninih tampak begitu lihai mengoral penis Ahmad
sampai Ahmad terheran-heran karenanya. 10 menit kemudian, Ahmad merasa gejolak
nafsu di kontolnya sudah tak tertahankan lagi. “Ninih lonteku…..mana janjimu
tadi, katanya mau kasih liat memek kamu!”
Seperti robot yang selalu
menurut apa kata tuannya, Teh Ninih langsung memelorotkan celana dalamnya yang
ternyata telah dibanjiri cairan cintanya akibat rangsangan-rangsangan yang
dilancarkan Ahmad betubi-tubi. Tak lupa ia tanggalkan pula bra putihnya hingga
bagian-bagian paling vital dan sensitif itu tersingkap sudah. “Ahmad sayang,
Ninih udah telanjang neh…..Entotin Ninih ya, Ninih lagi subur banget neh…”
Mendengar pengakuan jujur itu,
darah Ahmad langsung menggelegak. Berarti pagi ini ia akan menikmati manisnya
kemaluan seorang isteri yang begitu alim ini lengkap dengan butir-butir ovum
yang hangat, baru saja matang, dan pastinya siap untuk dibuahi sperma yang
begitu kental miliknya.
“Ninih, kamu mau aku hamilin…?”
Bisik Ahmad lembut di telinga Teh Ninih.
Teh Ninih pun menjawab tak
kalah lembutnya, “Mau sayang…..entotin Ninih sampai hamil ya.” Ahmad langsung
mengambil posisi mengangkangi pinggul sang Teteh pujaannya.
Ia singkap sedikit bulu
kemaluan ummahat yang cukup lebat itu karena belum sempat dicukurnya.
Dibelahnya sedikit demi sedikit memek suci nan harum itu hingga ia melihat
dengan jelas lapisan merah muda dengan butiran sebesar kacang menggantung di
atasnya. “Akkhh…Ahmad, cepet masukin kontol kamu. Entotin aja Ninih sepuasmu…”
Seperti tak ingin cepat
mengakhiri kenikmatan ini begitu saja, Ahmad hanya memarkir kepala kontolnya
yang menggunung itu di sela-sela rerumputan hitam yang menutupi gundukan bukit
menggemaskan milik seorang ustadzah terkenal itu. Sebagai gantinya, ia
merapatkan dadanya ke payudara Teh Ninih dan menggesek-gesekkannya. Tak lupa
payudara montok dan kencang itu walau tak begitu besar ia remas-remas sambil sesekali
memelintir putingnya yang kecoklatan.
“Aakkkhhhh….Ahmad sayang” Teh
Ninih serasa menenggak anggur merah ketika diperlakukan seperti itu. Ia telah
mabuk dalam kubangan nafsu kebinatangan yang terlarang akibat birahinya
sendiri. Ahmad, yang sekalipun shalih dan bertubuh tegap, namun tetap saja
sebenarnya ia tak boleh menikmati manis dan harum tubuh dan alat seksual
ummahat itu.
Namun kini, Ahmad tengah
menumpahkan birahi jalangnya pada tubuh indah nan seksi ummahat itu. Gilanya
lagi, Teh Ninih bukannya berontak atau menghindar, namun ia malah mengizinkan
bahkan memaksa Ahmad untuk berbuat cabul pada dirinya. Bahkan gesekan-gesekan
kontol Ahmad pada bibir vaginanya membuatnya begitu tersiksa. Bagai kesetanan,
Teh Ninih langsung memeluk tubuh Ahmad yang mulai basah akan keringat erat-erat
dan mencakar-cakari punggung ikhwan perkasa itu, “Sialan kamu Ahmad….cepet
masuki kontol kamu ke memek aku. Entotin Ninih sayaaaaaaannnggg…..!”
“Duh, kok omongan Ninih kayak
pelacur gini sih. Kamu kan ummahat shalihah, jilbab kamu aja panjang banget
gini.”
“Iya aku pelacur sayang….aku
perek jalang, aku budak seks kamu. Cepet yang…..ayo ngentot sama Ninih, genjoti
memek Ninih keras-keras…”
Tak mau membiarkan bidadari
berkacamata itu lebih tersiksa lagi, Ahmad pun menurunkan pinggulnya perlahan.
Tanpa harus diperintah lagi, kepala kontol yang cukup besar itu mulai beraksi
membelah vagina yang telah melahirkan beberapa orang anak itu. “Teh…memek Teteh
kok anget banget sih. BEda sama punya isteri Ahmad….Ahmad suka banget memek
Teteh, OOOOhhhh…telen kontol Ahmad dong pake memek Teteh.”
Entah kenapa Ahmad kembali
memanggil Teh Ninih dengan sebutan Teteh. Mungkin menurutnya, kata ‘Teteh’
terdengar lebih erotis daripada kata ‘Ninih’. Dan itu terbukti, Teh Ninih yang
semula sedikit pasif, kini aktif kembali. Dengan kelamin yang sudah
berkedut-kedut tak karuan, dan daraf sensualnya yang terus berkontraksi, Teh
Ninih mulai menghisap-hisap kontol Ahmad yang berusaha menyeruak ke dalam
rongga vagina yang sebenarnya haram buatnya.
Teh Ninih pun kembali
mendesah-desah binal seolah memberi semangat pada Ahmad untuk segera
menyetubuhinya. Setelah beberapa saat mengempot-negmpot kepala dan batang
kontol Ahmad, Teh Ninih pun dapat merasakan kejantanan yang lebih besar
daripada yang biasa ia layani sebelimnya itu menerobos masuk ke dalam organ
vitalnya.
“Akkhhh…Teteh….Ahmad masuk,
Teh. Bismillahir Rahmannir Rahiiiiiiiiiiiimmmmmm.” KOntol Ahmad pun langsung
amblas dalam hangatnya rongga kelamin Teh Ninih. “Teteh ikhlas kan saya entot?”
Teh Ninih langsung menggeletar
ketika merasakan sebatang penis dengan kehangatan dan ukuran yang jauh berbeda
dari milik suaminya tercinta, memenuhi rongga memeknya. Rasa kenikmatan itu
terus menjalar ke seluruh tubuh, apalagi ketika Ahmad menarik kontol yang begitu
ia banggakan itu disertai hentakan keras menekan dinding kemaluan suci itu
setelahnya, hingga si empunya sampai menggelinjang dan mengangkat dadanya
tinggi-tinggi.
“Teteh ikhlas kok yang……Teteh
ikhlas dientot sama kamu” Ahmad mulai melakukan kocokan erotis pada vagina
mungil Teh Ninih itu berkali-kali hingga Teh Ninih tak mampu membuka matanya
saking nikmatnya genjotan Ahmad. Apalagi tak henti-hentinya Ahmad meremas-remas
peyudaranya dan melumat bibirnya yang merah muda. “OOOhhh…ampun Ahmad.
Ennnaaakkkk bangeeeettt…..entoti Teteh truz sayaaaannngg….” Ummahat itu begitu
histeris ketika Ahmad meningkatkan tempo genjotannya. Untungnya, teriakan binal
ummahat yang begitu keras itu langsung diredam Ahmad dengan bibirnya agar tak
terdengar keluar.
Ternyata urat-urat di batang
kontol Ahmad telah benar-benar membuat Teh Ninih menjadi gila. Ia pun turut
menaik turunkan pinggul dan pantatnya yang montok seirama dengan goyangan
erotis Ahmad. Keduanya telah sama-sama bercucuran keringat saat Teh Ninih
melingkarkan kakinya di pinggul Ahmad sehingga ikhwan itu semakin mudah
melesakkan kontol hitam legam nan besar miliknya ke dalam kemaluan menggemaskan
milik ustadzah yang telah begitu binal itu, “OOOhhh….ooohh….yes….Teteh gila,
memeknya unstadzah legit banget euy….Ahmad doyan ngentotin Teteh…”
Setelah sekitar 30 menit
digagahi oleh Ahmad dengan liarnya, gelora birahi Teh Ninih hampir sampai di
puncak kenikmatan untuk kesekian kalinya. Ia mulai meracau dan berteriak-teraik
tak karuan, nafasnya sudah begitu memburu demi menatap kemaluannya yang cantik
itu dipompa tanpa ampun oleh ikhwan yang tak henti-hentinya menghembuskan
nafasnya yang panas dan penuh gairah ke wajah Teh Ninih. “OOhhh…Ahmad. Teteh
mau keluar lagi neh…..semprot memek Teteh pake peju kamu dong yang anget n lengket…..ampuni
Teteh Ahmad……”
Ahmad pun menambah intensitas
genjotannya pada vagina yang masih begitu sempit dan hangat itu ia rasakan. Ia
merasa nafsu iblisnya telah hampir sampai di batas maksimal. Dan begitu Ahmad
merasakan derasnya gelombang yang menjalari batang kemaluannya……ia pun mendekap
tubuh sang ummahat idaman dan melesakkan kontolnya sedalam mungkin.
“Aaaaaaaaakkkkkkkkkkhhhhhhhhhh……rasain
teteh peju Ahmad, Dasar Teh Ninih pelacur jalang……..”
“Crrrrroooooootttt…..cccrrrooooottt…”
Semburan lava panas nan lengket itu pun menghentak-hentak menghantam dinding
memek Teh Ninih sehingga membuat benteng birahi ustadzah berjilbab panjang itu
hancur lebur. Ia balas memeluk Ahmad dan mencakar-cakari apa saja yang ia bisa
raih dari tubuh Ahmad. Tubuhnya berkelojotan dan menggelinjang bagai seekor
hewan betina yang sedang disemprot air mani si jantan. Dan masirnya….Teh Ninih
pun melepaskan cairan cintanya yang paling suci dan paling penuh dengan ovum
hingga ia terkulai lemas tak bertenaga.
Seiring dengan terlepasnya
cairan cinta keduanya, Ahmad pun langsung roboh di atas tubuh Teh Ninih. Dengan
penis yang masih bersarang di memek Teh Ninih seraya menyemprotkan kedutan
kedutan kecil penghabisan, Ahmad pun menciumi wajah Teh Ninih sebagai ucapan
terima kasih.
Ia merasa sedikit bersalah
karena telah merusak kehormatan dan kesucian seorang Teh Ninih yang tampak
menggulirkan setetes air mata dari sudut matanya. Semsntara itu, pasangan
zinanya itu kini telah tak sadarkan diri setelah dipuaskan sepuas-puasnya oleh
kuda binal berkontol panjang itu. Segaris senyum tersungging di bibirnya
menyiratkan perasaan hatinya yang begitu bahagia.Keduanya pun terus berpelukan
bagai tak mau dipisahkan hingga adzan zhuhur membangunkan keduanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar